Dari
Sa’id bin Jubeir dari Ibnu ‘Abbas radhiya’l-lahu ‘anhuma meriwayatkan : “Dua orang sahabat menghadap Rasullullah (menanyakan tentang Fir’aun).
Sabda Nabi SAW : “Malaikat
Jibril menyumpali mulut Fir’aun dengan pasir, khawatir kalau-kalau akan
mengucapkan la ‘ilaha illallah”
Hadist di atas umumnya dapat kita temui
pada bahasan ayat tenggelamnya Fir’aun, surah Yunus ayat 90, di mana Allah
berfirman : “Dan Kami
memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan
bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka) ; hingga bila Fir’aun itu telah
hampir tenggelam berkatalah dia :
Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani
Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. 10:90)
Pada
detik-detik naza‘nya, malaikat Jibril melihat gelagat Fir’aun akan
mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Allah Ta’ala memerintahkan malaikat
Jibril untuk mengeksekusi nyawa Fir’aun dengan cara menyumpal mulutnya dengan
pasir, supaya tidak sampai mengucapkan keimanan dan pertaubatannya. Akhirnya
Fir’aun mati dengan mulut menyon dan jauh dari rahmat Allah SWT (tafsir
Al-Kasyaf, 21 202). Karena iman dan taubat pada saat ini, tiada guna sama
sekali.
Mengutip
tafsir Syeikh Sa’di, ada dua keadaan
di mana iman tidak berguna pada saat itu yakni beriman di ujung sekarat
dan beriman menjelang hari kiamat, sesuai firman
Allah dalam surah Al-Mu’min : 85.
Fir’aun
wafat di Laut Merah atau Laut Qalzum atau
sebelumnya populer dengan nama Fam Al-Hairuts, dekat Terusan Suez, pada tanggal 10 Muharram
dan karena itulah ada syari’at shaum ‘Asyura, setelah sebelumnya menyatakan
taubat dan yakin akan Tuhan Allah SWT, dan inilah taubat yang tertolak (QS. 10:90)
Fir’aun kafir sejak orok, di antara perkara yang aneh dalam diri Fir’aun adalah fitrah kejadiannya.
Umumnya bayi diciptakan oleh Allah dalam keadaan fitrah, tapi tampaknya hadist ini dikecualikan terhadap bayi
Fir’aun. Karena sejak orok sudah kafir di dalam perut ibunya.
Bunyi
hadist “wa khalaqa fir’aun
fi bathni ummihi kafiran” dan Fir’aun dijadikan (oleh Allah) dalam perut ibunya
dalam keadaan kafir (HR. Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dan Imam Thabarani dalam
Al-Ausath). Saat
menyampaikan hadist ini Rasulullah
SAW sedang berkotbah di hadapan para sahabat pada
sore hari.
Ahli
sejarah terpecah dua, ada yang
bilang Fir’aun itu nama orang (ismul ‘ajam), yang lain dan terbanyak mengatakan
Fir’aun itu gelar bagi raja yang lupa daratan. Tapi yang jelas, nama ini
pertama kali dipakai oleh Walid bin Mush’ab bin Rayyan, keturunan Lois bin Sam
bin Nuh.
Fir’aun
Musa adalah Ramses II atau Ramses Akbar, yaitu dinasti yang ke-19 yang naik
tahta pada 1311 SM. Ada yang mengatakan bahwa Fir’aun ini juga bernama Maneftah
(1224 - 1214 SM) yang Allah binasakan bersama
700.000 pasukannya di Laut Merah, mayatnya Allah selamatkan, pada waktu syuruq
(matahari terbit), menurut Tafsir Muqatil (QS.
10:90).
Mayatnya
diawetkan dengan pembalseman dalam bentuk mumi yang kini disimpan di museum
Mesir di Kairo dengan berbagai macam hikmah sejarah. Mumi ini ditemukan pertama
kali oleh purbakalawan Perancis, Loret, di Wadi al-Muluk (lembah raja-raja)
Thaba Luxor Mesir pada tahun 1896 M. Pembalutnya dibuka oleh Eliot Smith,
seorang purbakalawan Inggris pada tanggal 8 Juli 1907.
Sebuah
gelar yang mengarah pada kultus. Pada saat inilah gelar bisa makan tuan. Gelar
menyeret pemiliknya pada kesombongan, sehingga bisa lupa daratan. Fitnah ghuluw
(kultus, fanatik) muncul dari pemujaan gelar yang terlewat
batas.
Perhatikanlah
pesan indah dari Imam as-Syafi’i rahimahullah berikut ini, berkata
Imam as-Syafi’i : “aku benci orang yang kelewat mengagungkan
makhluk, hingga menjadikan kuburannya (di/sebagai) masjid. Aku kuatir terjadi
fitnah atasnya dan fitnah atas orang sesudahnya.”
Sumber : tidak diketahui
No comments:
Post a Comment