Belakangan
ini, Amar bin Jamuh merasa orang-orang di sekitarnya tidak lagi menghormatinya.
Bahkan, ke-empat putranya
pun seakan menjauhinya. Mereka lebih senang tinggal bersama sahabatnya. “Kenapa
orang-orang sepertinya memusuhiku?” bisik hati Amar sedih.
Padahal
sebagai seorang bangsawan kaya di Madinah, ia selalu membantu orang-orang
miskin. “Lebih baik aku mengadukan kesedihanku kepada Manat,” kata Amar. Amar
bangkit dan menekankan tongkatnya kuat-kuat. Tongkat itu yang selalu membantunya
berjalan kemana-mana. Amar bin Jamuh seorang yang cacat kakinya. Namun,
kekurangan itu tak membuatnya patah semangat.
Semasa
mudanya, Amar giat bekerja meskipun orangtuanya kaya raya. Ia tidak mau menjadi
beban keluarganya. Seperti saudaranya yang lain, Amar bekerja dengan penuh
tanggung jawab.
“Wahai
Manat,” ucap Amar di depan patung kecilnya. ”Kini semua orang membenciku. Aku
mohon, tenangkanlah hatiku.” Diam-diam, dari luar seseorang tengah
mengawasinya. Dan, pelan-pelan masuk kamar pemujaan Amar. “Ayah, kenapa masih
menyembah berhala itu?” tanya Muadz putra Amar. “Diamlah! Jangan menghina Tuhan
nenek moyang kita!” bentak Amar.
Hati
Muadz sangat iba melihat ayahnya masih menyembah berhala. Ia mengharapkan
ayahnya segera memeluk Islam. Orang Islam dilarang menyembah berhala. Amar
berpikir dan mulai mendapat jawaban tentang sikap anak-anak serta kaumnya yang
memusuhi dirinya. “Rupanya, agama Muhammad itulah penyebabnya” gumam Amar.
Karena
Muadz dan saudaranya sangat ingin menyadarkan ayahnya, maka mereka mengatur
siasat. Tatkala Amar sudah tertidur lelap, Muadz menyelinap masuk ke kamar
pemujaan ayahnya. Kemudian mengambil Manat, dan membuangnya ke tempat sampah.
Pagi
harinya, Amar sungguh terkejut. Ia tidak mendapatkan Manat di tempatnya. Buru-buru
dicarinya patung itu. Bertambah berang hati Amar sewaktu menemukan tuhan
kecilnya tergeletak di tengah tumpukan sampah yang kotor dan bau.
“Ya
Manat, kenapa kau ada disini?” Amar memungut kembali berhalanya. Kemudian, Amar
membersihkan kotoran di tubuh Manat dan melumurinya dengan minyak wangi.
Setelah itu, Manat ditaruh pada tempatnya semula.
Malam
berikutnya, Amar menemukan Manat di tempat sampah lagi. Lalu, Amar membersihkan
kotoran dan membawa kembali berhalanya ke kamar pemujaan. “Oh, Manat! Kenapa
kau diam saja diperlakukan buruk?” keluh Amar.
Ketika
malam berikutnya menemukan Manat meringkuk tak berkutik di tempat sampah. Amar
jadi ragu untuk mengambilnya kembali. “Hei, Manat! Ternyata kau tidak berdaya
sama sekali. Bagaimana akan menolongku kalau menolong dirimu sendiri saja tidak
mampu!” umpat Amar.
Akhirnya,
Amar membuang Manat di tempat sampah. Ia menyadari kesesatannya. Kalau selama
ini Amar yang pincang berhasil menjadi orang kaya, itu bukanlah pertolongan
berhala. Melainkan, karena keuletannya bekerja. Dan, Amar yakin ada Tuhan yang
lebih berkuasa. Amar segera memanggil ke-empat
putranya dan menyatakan niatnya untuk masuk Islam. “Antarkan aku kepada Rasullullah. Aku ingin mengucapkan
syahadat” kata Amar.
Berita
Islamnya Amar segera tersebar luas. Orang-orang pun menaruh rasa hormat yang
tinggi kepadanya. Amar mendapatkan kembali kehormatan dan kemuliaan di tengah
masyarakat Madinah.
Beberapa
waktu kemudian, tersebar kabar bahwa kaum kafir akan menyerang Madinah. Nabi
menganjurkan semua kaum muslimin ikut
berjihad di perang Badr. “Akupun akan ikut jihad bersama Rasullullah” kata Amar berapi-api.
Mendengar itu, putra-putranya sangat khawatir akan keselamatan ayahnya.
“Ayah
tidak perlu berjihad. Biarlah kami saja” cegah putranya.
“Kenapa?
Aku juga ingin gugur sebagai syuhada dan
meraih surga” kata Amar.
“Ayah,
kaki ayah cacat. Allah tidak membebankan kewajiban jihad kepada ayah” kata
Muadz.
“Memang
benar, Rasullullah telah
mengatakan, sebaiknya ayah di rumah saja” sahut adik Muadz. Alangkah sedihnya
hati Amar. Dipandangi kakinya yang pincang itu.
“Kakiku
yang pincang inilah yang menghalangiku berjihad. Padahal, aku amat merindukan
surga” kata Amar. Dalam hatinya, ia ingin sekali menjadi syuhada. Apalagi ketika peperangan berakhir
dengan kemenangan kaum muslimin, hati
Amar semakin berkobar untuk turut berjihad.
Rupanya
kekalahan kaum kafir pada perang Badr telah membuat mereka dendam. Kaum kafir
menyusun kekuatan untuk menyerang kembali kaum muslimin. Peperangan pun akan
dilaksanakan di bukit Uhud.
Mendengar
kabar itu, Amar menyambut panggilan jihad Rasullullah dengan penuh semangat. Kali
ini, Amar akan ikut berjihad bersama Rasullullah
meskipun putranya melarang.
“Ya
Rasullullah,
izinkanlah aku ikut berjihad. Walau kakiku pincang, tapi tangan dan tubuhku
cukup kuat mengangkat pedang dan tombak” kata Amar meyakinkan Rasullullah.
“Baiklah,
kau kuizinkan” kata Rasullullah. Amar
sangat bersyukur.
Dengan
gagah berani, Amar berangkat ke medan perang bersama kaum Muslimin.
“Allahu
Akbar!” teriaknya seraya menghunuskan pedangnya. Tombaknya pun melesat mengenai
beberapa musuh. Banyak tentara musuh yang dijatuhkannya.
Tiba-tiba
dari arah belakang, sebuah tombak musuh mengincar tubuh Amar. Tak terelakkan lagi,
tombak itu menancap di punggung Amar. Ia terjatuh dengan darah bercucuran. Amar
pun gugur menjadi syuhada.
Sumber : tidak
diketahui
No comments:
Post a Comment