Bagi
seorang budak, pergi menjumpai Nabi SAW bukanlah
hal yang bisa dilakukan dengan mudah. Keluar rumah majikannya untuk keperluan
sendiripun tidak bisa. Apalagi untuk menjumpai Nabi Muhammad SAW, yang menjadi
musuh kaum musyrikin Quraisy, musuh majikan
Bilal sendiri.
Dengan
susah payah, akhirnya Bilal bin Rabah berhasil menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia
menyatakan maksudnya untuk masuk Islam. Nabi mengajarkan cara-cara masuk Islam
dengan berwudhu (bersuci), lalu mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian
melakukan shalat dua rakaat.
Betapa
bahagia dan beruntungnya Bilal, karena Nabi sendiri yang mengajarkan syariah
Islam kepadanya. Namun, keislamannya harus disembunyikan. Sangat berbahaya jika
majikannya tahu akan hal itu. Untuk itu, Bilal menjalankan perintah agamanya
secara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, pada akhirnya ketahuan juga.
Umayyah
bin Khalaf marah
besar. Terkutuklah budaknya yang berani-beraninya menjadi pengikut Muhammad itu. Sesaat Umayyah bin Khalaf kehilangan
akal. Bagaimana dia bisa lengah menjaga budaknya? Bagaimana sampai si budak
tidak ketahuan pergi diam-diam menjumpai Muhammad?
Dalam
hati, Umayyah bin Khalaf sebenarnya mengakui kelebihan-kelebihan Muhammad.
Bahwa anak Abdullah itu, si Muhammad, memang orang yang sangat jujur. Orang
yang tidak pernah berdusta. Dia, juga berperilaku sangat sopan, rendah hati,
ramah. Pendek kata, banyak hal yang baik pada diri Muhammad itu. Namun, bahwa
dia mengajarkan agama baru yang bertentangan dengan agama kaum Quraisy, itulah
yang salah besar menurut Umayyah bin Khalaf. Itu tidak boleh dibiarkan. Harus
diperangi, dimusuhi, dan jika mungkin dibasmi.
Umayyah
punya sahabat bernama Uqbah bin Mu’ith. Uqbah mendengar perihal budak Umayyah
yang masuk Islam itu. “Celakalah engkau Umayyah!” katanya. “Budakmu menjadi pengikut orang yang
menghina agama kita. Yang menghina tuhan-tuhan kita Al-Laata dan Al-Uzza.”
“Ya.
Celakalah budak itu. Apa yang harus kulakukan terhadapnya?”
“Siksa
dia sampai mau meninggalkan agamanya yang sesat itu.”
“Akan
kusiksa dia sampai mati kalau dia tidak mau meninggalkan kesesatannya.”
Kesesatan, siapakah
yang sesat? Si budak Habsyi yang telah menganut agama kebenaran atau mereka
yang menyembah berhala-berhala mati itu? Orang-orang sesat itu menganggap yang
benarlah yang sesat.
Matahari
sedang terik-teriknya. Padang pasir menjadi bagaikan hamparan bara. Pada saat
seperti itu, Bilal bin Rabah ditelanjangi lalu diseret ke tengah padang pasir.
Tidak terbayangkan betapa panas butir-butir pasir itu. Bilal ditelentangkan.
Matahari dipuncak langit membakar bagian depan tubuhnya. Sementara punggungnya
disengat panas pasir yang bagaikan bara api.
Tidak
itu saja yang dialaminya. Seorang musyrikin yang menjadi algojo penyiksa,
mengambil sebongkah batu besar. Batu itu diangkat tinggi-tinggi, lalu
dijatuhkan ke dada Bilal.
Batu
itu berat sekali, juga panas tidak kepalang. Batu itu menghantam dada Bilal
sampai tulang-tulang iganya patah dan terus dibiarkan menindih dada. Mengimpit
dengan beratnya, dan membakar dengan panasnya.
“Ingkari
agama sesat ajaran Muhammad!” seru algojo penyiksa Bilal. “Siksaan ini akan
dihentikan bila engkau meninggalkan kesesatanmu.”. Bilal tidak sudi mengingkari
keyakinan dan keimanannya.
“Ucapkan
Al-Laata dan Al-Uzza!” Namun, apa yang
terdengar dari mulut Bilal?
“Ahad.....Ahad.....Ahad.....”
Begitu yang didengar Umayyah bin Khalaf dan para algojo yang menyiksa Bilal.
“Apa
yang kau katakan?” jerit Umayyah bin Khalaf dengan kalapnya.
“Ahad....Ahad.....Ahad.....”
Bilal
hanya berucap begitu berulang-ulang. Maksudnya adalah Allah yang Maha Tunggal
atau Allah yang Maha Esa.
Siksaan
dilanjutkan. Berbagai cara keji dan kejam dilakukan hingga hampir tidak ada
bagian tubuh Bilal yang tidak terluka. Namun dia tetap tabah. Dia tetap
mengucapkan Ahad. Tidak sudi
memuji dan menyerukan Al-Laata dan Al-Uzza seperti yang diharapkan para
penyiksanya.
Umayyah
bin Khalaf dan para algojo kehilangan akal. Bagaimana lagi cara menyiksa Bilal,
supaya budak Habsyi itu menyerah?
Hari
telah sore, sinar matahari
tidak sepanas bara lagi. Siksaan itu dihentikan. Bilal akan dibawa pulang ke
rumah Umayyah bin Khalaf. Akan tetapi, tidak begitu saja disuruh berjalan.
Lehernya diikat seperti kambing. Lalu Umayyah bin Khalaf memanggil anak-anak kecil. Disuruhnya
anak-anak itu menggiring Bilal melalui lembah dan bukit-bukit. Mereka
bersorak-sorai riuh. Memukul, mencakar, dan meludahi Bilal sepanjang jalan.
“Ini
pelajaran bagi budak-budak lain yang berani menjadi pengikut Muhammad!” kata
Umayyah bin Khalaf. “Juga pelajaran bagi para pemilik budak. Mereka harus
mewaspadai budak-budaknya.”
Siksaan
itu diulanginya keesokan harinya. Demikian pula lusanya. Namun, Bilal tidak mau
menyerah. Dari mulutnya terus terdengar Ahad......Ahad......Ahad.
Seorang
Quraisy datang dan berseru ketika Bilal sedang disiksa. “Hentikan!” katanya dengan suara
lantang. “Apa yang kalian
lakukan ini? Menyiksa seorang budak dengan sekejam ini? Lepaskan dia!”
Orang
itu tampaknya berpengaruh. Bilal dilepaskan dan ikatan di tubuhnya dibuka. Orang Quraisy itu
lalu memberinya minum. “Terima kasih” ucap Bilal dengan suaranya yang lemah. Ia
sungguh tidak berdaya. Seluruh
tubuhnya penuh luka. Seluruh tulangnya bagaikan remuk belaka. Bernafaspun
sangat menyakitkan dadanya. Bicara sangat menyakitkan rahangnya.
“Mengapa
kau keras kepala begitu, Bilal?” Tanya orang Quraisy itu. “Mestinya lunakkan
hatimu, supaya siksaan ini tidak terus menerus kau terima. Kau sendiri yang
merugi.” Bilal diam mendengar ucapan orang Quraisy ini.
“Umayyah bin Khalaf
itu merasa malu jika menghentikan siksaan sebelum kau menuruti kehendaknya,”
kata orang Quraisy itu dengan kata-kata lembut. “Ucapkanlah Al-Laata dan
Al-Uzza, meskipun tidak dengan sepenuh hatimu. Supaya Umayyah bin Khalaf
menghentikan siksaan ini tidak dengan rasa malu.”
“Ahad.....Ahad......Ahad.....”
terdengar dari mulut Bilal ucapan itu.
Orang
Quraisy itu marah. Dia serentak berdiri. “Terkutuk!
Kamu memang budak celaka! Siksa dia sampai mati!” teriaknya.
Ternyata
itu memang siasat para penyiksa Bilal. Ada yang membujuk dengan kata-kata manis
supaya Bilal menyerah. Namun, budak Habsyi itu tetap pada pendirian dan
keyakinannya. Mati baginya tidak menjadi persoalan lagi. Sakit bukan hal yang
menakutkan. Bukankah dia telah
mengalaminya selama berhari-hari ini? Dia tidak mati juga, tentunya karena
Allah tidak menghendakinya.
Bilal
kembali disiksa. Begitu berjalan sampai berhari-hari. Para penyiksanya sampai
jenuh dan bosan. Kehilangan akal untuk menaklukkan budak yang keras kepala itu.
Penganiayaan
terhadap budak yang memeluk agama Islam pada waktu itu sering terjadi, bahkan
ada yang sampai mati. Orang-orang musyrikin Quraisy bisa menyiksa budak sampai
mati. Mereka tidak khawatir akan tindakan balas dendam dari kerabat si budak
sebab para budak itu tidak mempunyai kabilah (kaum/keluarga besar).
Berbeda
dengan orang yang bukan budak. Kerabat dan anggota kabilahnya pasti akan
menuntut balas. Menyiksa budak itu sangat aman. Bukankah budak tidak lebih dari
binatang ternak bagi mereka?
Penyiksaan
terhadap Bilal ini didengar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Orang ini telah memeluk
Islam. Dulu ia mempunyai banyak sekali budak karena dia orang kaya. Di
masyarakat Quraisy pada waktu itu, semakin kaya seorang akan semakin banyak
memiliki budak. Kini Abu Bakar Ash-Shiddiq telah membebaskan budak-budaknya,
karena Islam menentang perbudakan. Tinggal seorang budak negro yang masih belum
dimerdekakan.
Abu
Bakar mendatangi tempat penyiksaan Bilal bin Rabah. Dengan iba disaksikannya
penyiksaan yang kejam tidak berperikemanusiaan itu. Para algojo penyiksa itu
sudah berlaku bagai binatang saja. Tidak punya rasa belas kasihan sedikit pun
terhadap manusia lemah yang kebetulan derajatnya dianggap serendah ternak
karena dia budak.
“Apa
kau tidak malu menyiksa orang yang lemah itu?” tegur Abu Bakar Ash-Shiddiq
kepada Umayyah bin Khalaf.
“Engkaulah yang
merusak kepercayaannya dan engkau pula yang menjauhkannya dariku!” seru Umayyah
bin Khalaf dengan geramnya. Ia tahu, Abu Bakar Ash-Shiddiq itu orang Islam,
sama seperti Bilal.
“Aku
mempunyai seorang budak negro yang kuat. Jauh lebih kuat dari pada orang yang
kau siksa itu. Ia akan kuserahkan kepadamu. Kutukar dengan budak lemah itu.”
Umayyah
bin Khalaf benar-benar telah kehabisan akal untuk mengatasi kebandelan budaknya
itu. Ia sendiri sudah ingin mengakhiri penyiksaan itu, karena dia tahu Bilal
tidak akan mau menyerah. Namun, jika menghentikan penyiksaan tanpa alasan, dia
akan merasa sangat malu. Kini
ada orang yang menawarkan pengganti Bilal.
“Bawa
kesini budak negro itu!” kata Umayyah
bin Khalaf.
Budak
negro itu dipanggil. Inilah saat yang paling bersejarah bagi Bilal. Ia telah
pasrah dan rela mati asalkan tetap dalam iman Islamnya. Ia pun menyangka tidak
lama lagi ajalnya akan tiba karena tubuhnya tidak tahan lagi terhadap siksaan
berat itu. Tiba-tiba ada orang menyelamatkannya.
Ia
dilepaskan dari tali yang mengikatnya. Tubuhnya lunglai sehingga Abu Bakar
harus memapahnya ketika membawanya pergi dari tempat itu. Bilal berlutut di
depan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
“Terima
kasih, Tuan.” katanya lemah
sekali. “Kini hamba menjadi milik Tuan.”
“Tidak”
Kata Abu Bakar Ash-Siddiq. “Kau kumerdekakan.”
Dimerdekakan
adalah hal yang sangat luar biasa bagi seorang budak. Artinya, dia dibebaskan
dari perbudakan. Dia menjadi orang yang merdeka yang tidak diperbudak oleh
siapapun. Bilal bagaikan tidak percaya akan apa yang didengarnya. Namun sungguh
ia benar-benar mendengar ucapan itu. Ucapan yang keluar dari mulut seorang
muslim sejati. Orang yang telah memerdekakan budak-budaknya. Tidak dianggapnya
bahwa itu merupakan kerugian besar baginya, padahal budak-budak itu dulu
dibelinya dengan mahal di pasar budak.
Islam
mengajarkan persamaan hak setiap manusia. Di mata Allah, derajat manusia sama.
Yang membedakannya adalah amal ibadah mereka.
Bilal
bukan satu-satunya budak yang disiksa yang dibebaskan oleh Abu Bakar
Ash-Siddiq. Masih banyak lagi budak muslim yang disiksa dan dibeli oleh Abu
Bakar Ash-Siddiq, kemudian dibebaskan. Diantaranya adalah Amir bin Fuhairah,
budak-budak perempuan bernama Labibah, Zinnirah, dan An-Nahdiyyah.
Bilal
bin Rabah kemudian menjumpai Nabi Muhammad SAW. Ia tetap bersama Nabi sampai
ikut hijrah ke Madinah. Sejak saat itu Bilal tidak pernah terpisahkan dari
Nabi.
Sumber :
tidak diketahui
No comments:
Post a Comment